Yusri abdul majid
18111748
1KA37
Barangkali ingatan kita telah lupa, beberapa waktu lalu kita banyak disuguhi berita yang membuat kita heran dan menggelengkan kepala. Bukan karena kagum atau takjub, tapi miris. Kita melihat bagaimana seorang ibu tua, yakni nek Minah (55), petani dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Nopember yang lalu (19/11) dihukum percobaan 1 bulan 15 hari karena mencuri tiga buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan 4 di desanya.
Lain si nenek, lain pula si Basar dan Kholil, warga Lingkungan Wonosari Kediri pada akhir Nopember (24/11/2009) yang lalu, mendapatkan ancaman hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Kota Kediri, karena melakukan pencurian sebuah semangka di kebun milik Darwati, yang juga tetangganya. Mereka dianggap melanggar Pasal 362 KHUP tentang tindak pidana pencurian biasa.
Gambaran situasi edan tidak sampai disitu, masih banyak lagi yang lainnya. Lihat saja Mbah Klijo Sumarto (73) warga Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Pria renta itu terpaksa menginap di Lapas Sleman sebagai tahanan gara-gara tertangkap mencuri setandan pisang. Sungguh ironis!
Kisah lain, adalah Enam orang anak ditahan di penjara sejak 25 Juni 2009 yang lalu hanya gara-gara mencuri enam biji jagung di areal tanaman jagung milik Slamet Riyadi di Bulusari, Maospati.. Keenam anak yang semuanya laki-laki itu adalah RA (15), AAS (14), FAR (17), DTS (17), AHK (17), dan IPMY (17). Mereka semua merupakan warga Maospati, Magetan. Mereka didakwa pasal 363 ayat 1 butir 4 KUHP yang menyebutkan pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ya, barangkali kita benar-benar menggelengkan kepala karena keheranan melihat hukum negeri kita yang sudah terlanjur edan. Hukum seperti benar-benar ditegakkan untuk mereka yang lemah, sementara banyak kasus yang luar biasa besar seolah berhenti begitu saja. Di ruang lain, "mereka" yang menguras uang rakyat masih bisa duduk santai di teras rumahnya, masih bisa menikmati liburan dengan segala fasilitas mewahnya. Mereka yang terbukti melakukan korupsi, penanganannya masih saja belum selesai. Kalaupun "pengadilan" memutuskan bersalah dan harus dipenjara, ach....penjara hanya sekedar melepas lelah bak di hotel bintang lima.
Belum usai skenario kasus cicak dan buaya, belum habis penanganan skandal Bank Century, masyarakat kembali menggelengkan kepala dihebohkan video mesum "mirip" artis. Berbagai media massa, baik media cetak (koran, majalah dll) maupun elektronik (TV, Radio, Internet dll) memberitakan tentang "kebenaran" pelaku adegan mesum itu. Pujian, hujatan sekaligus gunjingan, ramai menyelingi perbincangan menyoal sangkut pautnya dengan budaya dan moral bangsa. Ya, hampir tiap hari, bahkan tiap menit pemberitaan itu seolah tak pernah berhenti. Semua orang membahasnya, di gedung DPR hingga warung-warung kopi pinggir jalan, di kantor pejabat hingga gedung sekolahan. Kita pun merasa orang paling bermoral menyoal itu semua.
Bolehlah kita membela diri, barangkali saat ini Indonesia sedang menghadapi persoalan yang amat rumit. Berupa adanya gejala semakin merosotnya praktik nilai-nilai moralitas dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan kita sedang mencari Indonesia.
Ya, Indonesia. Sebuah negeri yang terbentang 17.508 pulau bersama 240 juta rakyat di dalamnya, beragam suku bangsa dengan segenap adat dan budayanya. Negeri yang konon memegang teguh adat ketimurannya. Negeri yang beradab dan bermartabat. Negeri yang ramah, sopan dan hidup berdampingan dengan segenap perbedaannya. Negeri yang berBhineka Tunggal Ika.
Ironis. Keadaan yang sangat ironis ketika kita melihat berbagai belahan lain yang masih kita sebut Indonesia, mereka yang menganggap diri beradab dan bermartabat justru berperilaku primitif. Di mana-mana seolah sedang menikmatinya bersama.Nggak di gedung DPR, nggak di kampus, nggak di lapangan, nggak di jalanan perilaku yang nggak berbudaya selalu saja terjadi. DPR dengan sidang-sidangnya yang selalu ricuh, tawuran antar mahasiswa, bentrok antar pelajar, tawuran antar kampung hingga antar suporter bola membuat kita malu untuk menyebut diri sebagai Indonesia. Sepertinya benar, batasan-batasan moral itu kini mulai menipis, luntur, dan kabur dilibas arus modernisasi. Entah apakah kita sedang bersama-sama melupakan Indonesia? Entah tanggung jawab siapa. Entah ke mana Indonesia? Hilang?!
Dan orang-orang pinggiran seperti saya hanya bisa bersenandung,
Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu*
Ya, Indonesia. Sebuah negeri yang terbentang 17.508 pulau bersama 240 juta rakyat di dalamnya, beragam suku bangsa dengan segenap adat dan budayanya. Negeri yang konon memegang teguh adat ketimurannya. Negeri yang beradab dan bermartabat. Negeri yang ramah, sopan dan hidup berdampingan dengan segenap perbedaannya. Negeri yang berBhineka Tunggal Ika.
Ironis. Keadaan yang sangat ironis ketika kita melihat berbagai belahan lain yang masih kita sebut Indonesia, mereka yang menganggap diri beradab dan bermartabat justru berperilaku primitif. Di mana-mana seolah sedang menikmatinya bersama.Nggak di gedung DPR, nggak di kampus, nggak di lapangan, nggak di jalanan perilaku yang nggak berbudaya selalu saja terjadi. DPR dengan sidang-sidangnya yang selalu ricuh, tawuran antar mahasiswa, bentrok antar pelajar, tawuran antar kampung hingga antar suporter bola membuat kita malu untuk menyebut diri sebagai Indonesia. Sepertinya benar, batasan-batasan moral itu kini mulai menipis, luntur, dan kabur dilibas arus modernisasi. Entah apakah kita sedang bersama-sama melupakan Indonesia? Entah tanggung jawab siapa. Entah ke mana Indonesia? Hilang?!
Dan orang-orang pinggiran seperti saya hanya bisa bersenandung,
Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar